Oleh : Kadek Fendy Sutrisna
Pada artikel kali ini, akan dibahas tentang permasalahan pembangkit listrik tenaga panas bumi, atau yang lebih sering disebut dengan Geothermal di Bali.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada tahun 1993 hingga 1998, Ida Bagus Sudjana
(almarhum) mungkin tidak pernah menyangka bahwa proyek Geothermal yang
digagasnya pada tahun 1994 bakal menimbulkan polemik dan menimbulkan penolakan besar dari masyarakat Bali.
Pembangkit listrik Geothermal ini
didesain dengan kapasitas daya keluaran sebesar 175 Mwatt di sekitar
kawasan pegunungan Bedugul. Pembangkit listrik ramah lingkungan dengan
daya seperti ini dirancang cukup untuk mengatasi permasalahan Bali dari
ketergantungan pasokan energi listrik dari jaringan koneksi kabel bawah
laut dari Pulau Jawa.
Sumber masalah dari penolakan masyarakat Bali terhadap pembangkit Geothermal ini
adalah letak lokasi pembangunan di sekitar lereng pegunungan, yang
notabene menurut kepercayaan adat masyarakat Bali, Gunung, Danau,
Sungai-sungai dan Pantai merupakan sebuah kawasan suci yang mesti dijaga
keindahan alamnya (kesucian dan kesakralan Pulau Bali).
Pada
artikel kali ini, saya mencoba untuk membahas ulang kasus yang sempat
ramai diperdebatkan pada tahun 2005-2006 ini. Semoga artikel ini bisa
menjadi pembelajaran buat bangsa Indonesia dalam mengambil kebijakan
membangun pembangkit listrik yang tepat, ramah lingkungan, sesuai dengan
kondisi dan potensi lokal setiap daerah.
Salah satu sumber
potensi energi geothermal di Indonesia terdapat di Sarulla, dekat
Tarutung, Sumut, yang dikabarkan memiliki cadangan terbesar di dunia. Geothermal
adalah salah satu kekayaan sumber energi yang belum banyak
dimanfaatkan baik di Indonesia maupun di Dunia.
Panas
bumi (geothermal) menjadi perhatian dunia karena energi yang
dihasilkan dapat menjadi sumber energi listrik alternatif di masa
depan yang sangat besar dan bebas polusi CO2. Perlu diketahui
bahwa cadangan panas bumi di Indonesia sangatlah besar, hingga mencapai
40% cadangan energi dunia.
Berdasarkan data PT. Pertamina Geothermal
Energy, disebutkan bahwa cadangan ini mencapai 27.000 MW, sementara yang
telah termanfaatkan baru sekitar 1.198 MW saja. Bukannya tidak mungkin
apabila pemanfaatan panas bumi dapat dilakukan secara maksimal,
Indonesia kemudian akan mampu berdiri sebagai kiblat bagi pengembangan
energi geothermal di seluruh dunia.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, setelah 10 tahun proyek ini selesai dicanangkan, dari tahun 2005-2006 terjadi penolakan besar-besaran dari masyarakat Bali terhadap pembangunan pembangkit listrik ini. Proyek geothermal di
kawasan Bedugul ini dianggap nantinya akan mengurangi kesakralan kawasan suci di daerah tersebut.
Perlu
diketahui bahwa kawasan pegunungan Bedugul memiliki nilai khusus bagi
masyarakat di Bali, selain merupakan obyek wisata dan wilayah perkebunan
yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk dikawasan
Bedugul. Disinilah tiga dari empat danau di Pulau Bali berada dan
sejumlah Pura utama dibangun. Aktivitas pembangunan infrastruktur,
penebangan pohon dan segala kesibukannya dipandang dapat mengganggu
keberlangsungan yang telah berjalan secara selaras pada kehidupan
masyarakat saat ini.
Proyek pembangkit listrik di kawasan pegunungan Bedugul menurut para sulinggih bertentangan dengan konsep Tri Hita Karana. Konsep tersebut menjadi nilai dasar masyarakat Hindu Bali sejak ratusan tahun. Nilai budaya Tri Hita Karana (Palemahan, Pawongan dan Parhyangan)
pada intinya menghendaki adanya keharmonisan dan keselarasan hubungan
horizontal antar sesama manusia (humanisme), keseimbangan dan
keharmonisan hubungan secara vertikal, yaitu manusia dengan lingkungan
alam (ekologisme) dan keharmonisan dan keselarasan hubungan manusia
dengan roh (dewa/bhatara) sebagai manifestasi Tuhan (teologisme) untuk
mencapai kesejahteraan hidup secara lahiriah dan batiniah.
Umat Hindu Bali juga mengenal nilai budaya Tri Mandala
yang mengapresiasi (memberi makna) pada setiap ruang. Masing-masing
ruang mempunyai perbedaan nilai sesuai dengan karakteristiknya. Secara
umum dalam konsep Tri Mandala membedakan ruang menjadi tiga, yaitu: Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Ditinjau dari tingkat kesuciannya, Utama Mandala dipandang sebagai tempat atau ruang tersuci.
Pembagian
ruang makro dalam konteks kawasan geografis ini telah dikenal sejak
zaman raja-raja Bali Kuno (sekitar abad XM). Pada masing-masing ruang
makro tersebut biasanya disertai dengan pembangunan tempat suci/pura,
yaitu di kawasan hulu yang terkait dengan ekosistem gunung, hutan dan
danau dibangun Pura Gunung, Pura Danu. Di kawasan tengah terkait dengan ekosistem daratan/daratan dibangunan Pura Penataran (Pura Pusat Kerajaan) dan di hilir atau pesisir dan laut terkait dengan ekosistem pesisir dan laut dibangun Pura Laut/Pura Segara.
Pura-Pura tersebut dibangun untuk memohon keselamatan, kestabilan dan
kedamaian, kesuburan dan kemakmuran serta keharmonisan hidup manusia
dengan lingkungannya.
Berkaitan dengan nilai kesucian (keajegan)
kawasan dan tempat suci telah ditetapkan dalam Bhisama yang merupakan
keputusan PDHI Pusat No. 11/Kep./I/PHDIP/1994. Ketentuan tentang kawasan
suci dan tempat suci ini kemudian dikukuhkan dalam Perda No.4 Th.1996
tentang RTRW Propinsi Bali (Bab VI psl 19). Dalam penjelasan pasal demi
pasal RTRW Propinsi Bali (p 12), Psl 19.
Selain
itu, nilai budaya juga memandang gunung suci dicerminkan dari adat tata
cara duduk dalam ritual adat atau perilaku tidur penduduk sekitar. Jika
tidur kepala harus berorientasi ke gunung/bukit terdekat, pura dan atau
matahari terbit. Pantang menginjak (ninjak) gunung terdekat,
pura, atau tempat matahari terbit. Orientasi tidur dengan menginjak
gunung terdekat atau arah matahari terbit diyakini panes yang mendatangkan gering
(kesakitan) dan nasib sial. Umat Hindu Bali menjadikan gunung (yang
tertinggi Gunung Agung) sebagai arah menghadap pada saat upacara agama.
KESIMPULAN
Bukan
pilihan yang keliru memang jika pemerintah melirik pembangkit
geothermal sebagai solusi pembangkit masa depan Bali yang memanfaat
potensi lokal panas bumi di Bedugul. Hal ini menjadi masalah karena
pembangkit geothermal mesti dibangun di kawasan pegunungan, karena pada
tempat itulah uap panas yang berasal dari aktivitas pegunungan berada.
Disatu sisi. Umat-Hindu Bali memperlakukan gunung dan danau sebagai
kawasan suci (ajeg). Aktivitas pembangkit listrik dinilai
mengurangi kesucian kawasan tersebut. Sebuah ajaran agama yang telah
dipegang teguh selama ratusan tahun di pulau dewata tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar