Oleh:
Ibed Surgana Yuga
Dunia pariwisata adalah dunia perdagangan, bisnis
ekonomi, juga politik dan lahan perebutan kuasa dan prestise. Uang adalah
tujuan di sini. Sehingga semua yang mau ambil bagian harus mampu “beradaptasi”
dengan tujuan itu, kalau mau menuai hasil. Dan sebagai sumber utama uang tentu
saja adalah para pembeli, para pelancong. Pembeli hanya akan membeli sesuatu
yang diinginkannya, yang dibutuhkannya, yang menarik konstruksi seleranya. Maka
“adaptasi” dimaksud adalah suatu pelayanan terhadap segala sesuatu yang
dikehendaki oleh pembeli. Ini adalah hukum industri jasa yang sudah jamak, saya
kira.
Banyak yang mengklaim – termasuk saya, barangkali – bahwa “adaptasi” semacam itu secara tidak langsung adalah pengikisan atau pendegradasian atribut-atribut, nilai-nilai, makna-makna juga bentuk-bentuk yang sebelumnya menjadi identitas atau bahkan iman bagi sesuatu yang diperdagangkan dalam industri pariwisata, seperti kesenian misalnya. Hal ini juga menjadi sorotan sebuah forum yang menamakan dirinya Kongres Kebudayaan Bali I di Agung Room Inna The Grand Bali Beach, Sanur, 14-16 Juni 2008. “Kenyataan menunjukkan, perkembangan pariwisata lebih menawarkan kepentingan pariwisata daripada kepentingan kebudayaan Bali sehingga menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali. Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Demikian salah satu rekomendasi forum ini sebagaimana dilansir http://www.baliprov.go.id.
Benar saja ketika Putu Wijaya mensinyalir bahwa selama ini, sudah jatuh vonis, seakan-akan Bali hanya artis penghibur, bukan penyimak kehidupan. Menurutnya, ini adalah sebuah kesalahan yang memerlukan sebuah tindakan dan perjuangan agar terbukti dan bisa di terima oleh orang Bali sendiri. Bahwa Bali bukan hanya “menari”, tetapi juga berpikir.
Banyak yang mengklaim – termasuk saya, barangkali – bahwa “adaptasi” semacam itu secara tidak langsung adalah pengikisan atau pendegradasian atribut-atribut, nilai-nilai, makna-makna juga bentuk-bentuk yang sebelumnya menjadi identitas atau bahkan iman bagi sesuatu yang diperdagangkan dalam industri pariwisata, seperti kesenian misalnya. Hal ini juga menjadi sorotan sebuah forum yang menamakan dirinya Kongres Kebudayaan Bali I di Agung Room Inna The Grand Bali Beach, Sanur, 14-16 Juni 2008. “Kenyataan menunjukkan, perkembangan pariwisata lebih menawarkan kepentingan pariwisata daripada kepentingan kebudayaan Bali sehingga menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali. Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Demikian salah satu rekomendasi forum ini sebagaimana dilansir http://www.baliprov.go.id.
Benar saja ketika Putu Wijaya mensinyalir bahwa selama ini, sudah jatuh vonis, seakan-akan Bali hanya artis penghibur, bukan penyimak kehidupan. Menurutnya, ini adalah sebuah kesalahan yang memerlukan sebuah tindakan dan perjuangan agar terbukti dan bisa di terima oleh orang Bali sendiri. Bahwa Bali bukan hanya “menari”, tetapi juga berpikir.
Kenyataan empirik tersebut memang menjadi konsekuensi logis dari konstruksi industri “pariwisata budaya” yang kini menjadi lumbung besar Bali. Masalahnya adalah, apakah para desainer konstruksi ini dahulu menyadari akan konsekuensi ini, sehingga telah menyiapkan konstruksi antisipasinya? Jangan-jangan tidak tersadari? Atau mengambil langkah untuk menafikannya karena orientasinya memang pariwisata doang, tanpa keinginan untuk memelihara iman dasar barang dagangannya?
Kebudayaan – dalam arti sempit – sebagai barang dagangan industri pariwisata Bali saat ini mejadi kekaburan yang patut diprihatinkan. Secara wadag barangkali ia masih tampak demikian, sebagaimana awalnya, anggun, eksotis, magis, sakral, seakan tak terjadi apa-apa terhadapnya, terhadap jiwanya yang menggerakkan wadagnya. Bahkan, dengan narasi kuat yang dikonstruksi untuk pembangunan citra, seakan-akan ia tengah mengalami perkembangan yang demikian pesat yang positif.
Namun kita tidak tahu iman semacam apa yang ada di sebaliknya, bahkan untuk sajian-sajian seni pertunjukan yang ditujukan untuk ritual sekalipun, karena sekarang banyak yang ingin sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Sajian pertunjukan ritual sekaligus dijual kepada para wisatawan.
Kebudayaan – sekali lagi, dalam arti sempit – yang saya simbolkan sebagai topeng – maksudnya topeng-topeng yang lahir dari ranah seni pertunjukan tradisi Bali – bukan lagi menjadi kebudayaan yang beriman terhadap kebudayaan itu sendiri. Ia telah memiliki iman yang demikian kompleks dan kontradiktif. Iman ini adalah kumpulan kekuatan yang berada di baliknya, sebut saja di antaranya adalah pebisnis pariwisata, pemerintah, broker, kapitalisme, globalisme dan sedikit iman awal kebudayaan. Kekuatan-kekuatan inilah yang mengkonstruksi citra yang menunjukkan seakan-akan kebudayaan Bali tengah mengalami perkembangan yang demikian pesat dan positif.
Kekaburan kebudayaan Bali semacam inilah yang oleh Kongres Kebudayaan Bali I disebut “menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali”. Namun forum ini ternyata agak keliru ketika memberikan solusi bahwa, “Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Yang ditekankan forum ini adalah masyarakat, suatu subjek pemilik kebudayaan yang sebenarnya dalam kasus ini adalah “korban”. Dengan solusi yang demikian, masyarakat diberikan beban ganda: hidup sebagai “korban” dan mesti mengatasi status tersebut sendirian. Yang ditekankan bukannya kekuatan-kekuatan yang berada di balik topeng-topeng kebudayaan Bali kini, yang semestinya memiliki orientasi utama kepada kebudayaan, bukan kepada pariwisatanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar