Kamis, 24 November 2011

Pembuatan Inkubator Wirausaha Baru di Bali


Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Latar Belakang
Bali adalah salah satu daerah di Indonesia yang saat ini menjadi perhatian para investor dan sedang berkembang pembangunannya dengan sangat cepat. Namun sangat disayangkan bahwa lapangan pekerjaan untuk lulusan perguruan tinggi di Bali sangatlah sedikit. Sebagian besar generasi muda yang berpotensi di Bali biasanya lebih memilih bekerja di luar daerah/di luar negri daripada membangun daerah asalnya sendiri. Bisa dibayangkan efek negatif dari ini adalah banyaknya pengangguran, banyaknya generasi muda yang bekerja tidak sesuai dengan bidangnya, banyaknya pembangunan di Bali yang kurang terkonsep dengan baik, banyaknya terjadi pemborosan anggaran, dan kurangnya tenaga ahli asli daerah yang dapat mendesain sebuah sistem yang sejalan dengan budaya lokal Bali yang unik.

Dalam menghadapi masalah ini, akademisi, pemerintah dan pengusaha sudah saatnya bersinergi bersama-sama membuat suatu solusi yang nyata untuk meningkatkan kualitas pembangunan dan perekonomian di Bali. Meningkatkan minat berwirausaha generasi muda di Bali mungkin bisa menjadi salah satu solusi yang baik untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dengan ini diharapkan nantinya muncul pengusaha-pengusaha baru yang akan mampu menyerap tenaga kerja-tenaga kerja, sehingga bisa mengatasi masalah pengangguran dan mengurangi generasi muda Bali yang merantau ke luar daerah.  

Bagi lulusan baru suatu peguruan tinggi yang ingin memulai berwirausaha, memerlukan suatu masa belajar berwirausaha dalam kurun waktu tertentu untuk menimba pengalaman nyata sambil menyiapkan dan menguatkan diri untuk dapat bersaing dalam percaturan bisnis. Waktu tersebut diperlukan diantaranya untuk mengubah cara pandang dalam mengamati situasi bisnis, menetapkan strategi bisnis, meningkatkan pemahaman proses produksi dengan acuan biaya produksi minimum namun berkualitas tinggi, belajar membentuk hubungan sesama rekan bisnis dan belajar menghadapi konsumen dan pemasok komponen yang diperlukan.

Semua kegiatan tersebut akan berjalan dengan baik apabila berada dalam lingkungan yang baik untuk berbisnis dan didukung oleh banyak pihak. Lingkungan tersebut dapat berbentuk Inkubator Wirausaha Baru yang pada awalnya lingkungan ini dapat memberikan fasilitas yang diperlukan dalam melakukan pengenalan wirausaha untuk generasi muda Bali.

Tujuan Inkubator Wirausaha Baru : 
  • Memberikan pemahaman kepada generasi muda Bali tentang tingginya peluang bisnis yang memanfaatkan teknologi (technopreneurship) di Bali
  • Memfasilitasi dan mendampingi para lulusan baru yang ingin berwirausaha agar bisa mengembangkan usaha-usaha baru yang kreatif yang berlandaskan iptek
  • Mengurangi jumlah generasi muda kreatif yang merantau ke luar daerah dan menumbuhkan kesadaran untuk membangun daerah sendiri
  • Meningkatkan kemampuan generasi muda Bali dalam menyediakan solusi teknologi tepat guna yang bersinergi dengan budaya lokal Bali
  • Meningkatkan standar ekonomi masyarakat Bali

Tantangan :
  • Diperlukan komitmen yang tinggi dari lembaga pendiri dan pengelola inkubator
  • Tantangan dalam memperoleh dana pengelolaan dan kredit usaha
  • Bersinergi dengan kebijakan pemerintah untuk mendukung program inkubator
  • Memerlukan dukungan kuat dari tenaga professional yang bekerja full time serta memiliki komitmen yang tinggi

Kamis, 17 November 2011

Ayo dukung sistem pertanian organik

Oleh : NN

Secara teoritis banyak pakar pertanian ataupun ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu altematif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial.

Sayangnya praktek-praktek sistem pertanian organik belum memiliki greget yang mengakar dalam masyarakat petani Bali. Pioner-pioner pertanian organik yang muncul di beberapa daerah masih berjuang keras meyakinkan para petani atau masyarakat sekitar tentang manfaat sistem pertanian organik bagi kesinambungan kehidupan alamiah dan manusia. Bahkan tidak jarang para pelaku pertanian organik mendapat sindiran atau cemoohan dari petani lain yang sudah gandrung dengan pertanian industrial yang terkenal rakus bahan kimia dan mahal. Gerakan pertanian organik kurang mendapat tanggapan yang luas karena para petani kita sebagian besar terlanjur berpola pikir dan pola sikap seperti pada masa orde baru.

Masalah Sistem Trasportasi di Bali

Oleh : Andi Rahma

Bali sejak dulu dikenal sebagai pintu gerbang pariwisata di Indonesia. Kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap aset pariwisata yang harus selalu di jaga-Budaya dan kelestarian keindahan alamnya, membuat masyarakat Bali memegang teguh konvensi yang berasal dari budaya yang juga berasal dari aturan agama Hindu Bali. 

Selain mengatur tentang tata hubungan kemasyarakatan, budaya Bali juga mengatur tentang bangunan dan jalan. Hal inilah yang menyebabkan lebar dan jaringan jalan di Bali sangat terbatas. Kondisi yang sangat mendukung bagi dikembangkannya konsep sistem transportasi berkelanjutan.

Rabu, 16 November 2011

[Wisata Bali] Museum Antonio Blanco

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna


“A thing of beauty is a joy forever”

Museum Antonio Blanco adalah sebuah museum penghargaan yang diberikan oleh raja Ubud saat itu yang terletak di rumahnya di atas bukit di tepi sungai Campuan, Ubud, berjarak 1,5 jam dari Denpasar.


Antonio Maria Blanco lahir di Manila, Filipina, 15 September 1912 – meninggal di Bali, Indonesia, 10 Desember 1999 pada umur 87 tahun adalah seorang pelukis keturunan Spanyol dan Amerika. Antonio lahir di distrik Ermita di Manila, Filipina. Ia pada mulanya hidup dan bekerja di Florida dan California, Amerika Serikat, hingga pada suatu waktu hatinya tertarik untuk mengeksplorasi pulau-pulau di Samudra Pasifik sebagai sumber inspirasinya seperti pelukis Paul Gauguin, José Miguel Covarrubias dan yang lainnya sebelum dirinya.


Memasuki galeri Antonio Blanco, kita akan melihat kemampuannya yang tiada duanya dalam menggambarkan keindahan seorang wanita. Sebagian besar karya lukisnya bertemakan wanita yang bertelanjang dada dengan seni yang tinggi, romantis, dan berbeda dengan unsur pornografi. Sebagian besar model yang dipakai adalah istri sang maestro sendiri, seorang penari Bali yang santun, Ni Ronji ; anak sulungnya Tjempaka Blanco, dan model-model lain yg dianggap layak untuk diabadikan keindahannya. Tidak heran, Presiden Soekarno pada jamannya sering mengunjungi rumah Blanco, yang dimana kedua-duanya adalah seorang yang sangat mengaggumi wanita.

Bali Dulu dan Bali Sekarang

Oleh: Ibed Surgana Yuga

DULU orang-orang di kampung saya, jika hendak menebang pohon untuk kebutuhan tertentu, ia akan menanam benih pohon yang sama di sampingnya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum pohon tadi ditebang. Dulu bapak saya merayakan Tumpek Wariga dengan menanam berbagai bibit tanaman baru di kebun setelah ritual. Betapa, filosofi dan praktik yang berjalan beriringan!

Sekarang, saya jadi ragu .... Benarkah Bali punya Tumpek Wariga? Atau Tumpek Kandang? Benarkah Bali punya Tri Hita Karana? Benarkah Bali punya Dewi Sri? Benarkah Bali punya Pura Ulun Suwi dan Pura Ulun Danu? Benarkah Bali punya banten? Benarkah Bali punya Bali?

Orang pasti akan menjawab, "Tentu saja punya!" Ya, punya. Tapi apa yang ada di dalam kepunyaan ini? Bagaimana Bali mendefinisikan kepunyaannya ini? Kepemilikan konsep, kebendaan, perilaku, sejarah, warisan, ekonomi, iman, simbol, nilai, makna? Atau sekadar gaya?

Yang jelas, sekarang kita tengah menyambut kehancuran lingkungan Bali. Saya tidak akan memberikan contoh kasus mana saja yang dimaksud karena sudah terlalu banyak berita tentangnya. Lagian saat ini kita begitu mudah menemukannya di sekeliling kita, bahkan di halaman rumah kita sendiri.

Orang Bali : Jual Tanah, Beli Bakso

Oleh: Ibed Surgana Yuga

Tentu kita sangat hafal dengan goyunan "orang Jawa jual bakso untuk beli tanah, orang Bali jual tanah untuk beli bakso". Banyak pewacana yang secara ekstrem mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti orang Bali tak lagi memiliki tempat berpijak di desanya sendiri, orang Bali hanya jadi penyewa, orang Bali tak lagi menjadi bos di negerinya sendiri.

Putu Suasta (2001) menulis bahwa orang Bali telah mengalami perubahan orientasi terhadap keberadaan tanah. Tanah secara tradisional memiliki kompleksitas makna bagi orang Hindu Bali yang hidup dengan kebudayaan agraris. Tanah adalah penghidupan ekonomi sekaligus Dewi Sri yang sakral. Seiring pesatnya pembangunan modern, orientasi ini perlahan bergeser ke arah nilai ekonomi semata, yang mana dapat dilihat dari semakin banyaknya tanah yang dijual, terutama tanah sawah.

Memaknai Hidup Dari Satua Bali

Oleh: Ibed Surgana Yuga


Mari kita bermain dengan bayang-bayang sejenak. Bayangkan India tanpa Ramayana dan Mahabharata. Bayangkan Timur Tengah tanpa Abu Nawas. Bayangkan Cina tanpa Sampek Engtay. Bayangkan Amerika tanpa Batman, Superman atau Spyderman. Bayangkan Jepang tanpa Momotaro. Bayangkan Yunani tanpa Oedipus, Dewa Apollo atau Syshipus. Bayangkan Inggris tanpa Remeo Juliet. Bayangkan Indonesia tanpa Malin Kundang atau Roro Mendut. Dan bayangkan Bali tanpa Jayaprana Layonsari atau Calonarang.

Ah, barangkali tidak akan terjadi apa-apa. Tapi barangkali juga terjadi sesuatu yang begitu besar dan sangat serius: sebuah kualitas kehidupan peradaban yang jauh dari nilai tinggi, sunyi, muram, ada yang kurang pada pandangan hidup, ada yang kurang pada prestise, ada yang kurang pada pendidikan anak, ada yang kurang pada emosi kemanusiaan, tak ada pengalaman imajinatif, tiada kisah dari “dunia lain”, tanpa pelipur rutinitas survival – kecuali tidur.

Satua adalah kisah, peristiwa yang dibayangkan dan dikatakan, baik oral traditions maupun berasal dari tradisi tulis. Bagi pengetahuan modern, ia adalah cerita rekaan, fiksi, bohong. Namun bagi masyarakat pendukungnya, ia adalah kenyataan yang dipercaya, baik kejadian, keberadaan atau kausalitasnya. Pengetahuan modern yang konon logis itu boleh saja mengatakannya sebagai omong kosong, namun masyarakat pendukungnya demikian mementingkannya. Mereka menjalaninya, dengan sadar maupun tidak, dalam keseharian peradaban hidup mereka.

Adaptasi Budaya dan Kelunturan Jati Diri Bali

Oleh: Ibed Surgana Yuga


Dunia pariwisata adalah dunia perdagangan, bisnis ekonomi, juga politik dan lahan perebutan kuasa dan prestise. Uang adalah tujuan di sini. Sehingga semua yang mau ambil bagian harus mampu “beradaptasi” dengan tujuan itu, kalau mau menuai hasil. Dan sebagai sumber utama uang tentu saja adalah para pembeli, para pelancong. Pembeli hanya akan membeli sesuatu yang diinginkannya, yang dibutuhkannya, yang menarik konstruksi seleranya. Maka “adaptasi” dimaksud adalah suatu pelayanan terhadap segala sesuatu yang dikehendaki oleh pembeli. Ini adalah hukum industri jasa yang sudah jamak, saya kira.

Banyak yang mengklaim – termasuk saya, barangkali – bahwa “adaptasi” semacam itu secara tidak langsung adalah pengikisan atau pendegradasian atribut-atribut, nilai-nilai, makna-makna juga bentuk-bentuk yang sebelumnya menjadi identitas atau bahkan iman bagi sesuatu yang diperdagangkan dalam industri pariwisata, seperti kesenian misalnya. Hal ini juga menjadi sorotan sebuah forum yang menamakan dirinya Kongres Kebudayaan Bali I di Agung Room Inna The Grand Bali Beach, Sanur, 14-16 Juni 2008. “Kenyataan menunjukkan, perkembangan pariwisata lebih menawarkan kepentingan pariwisata daripada kepentingan kebudayaan Bali sehingga menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali. Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Demikian salah satu rekomendasi forum ini sebagaimana dilansir http://www.baliprov.go.id.

Benar saja ketika Putu Wijaya mensinyalir bahwa selama ini, sudah jatuh vonis, seakan-akan Bali hanya artis penghibur, bukan penyimak kehidupan. Menurutnya, ini adalah sebuah kesalahan yang memerlukan sebuah tindakan dan perjuangan agar terbukti dan bisa di terima oleh orang Bali sendiri. Bahwa Bali bukan hanya “menari”, tetapi juga berpikir.

Topeng-topeng Bali Itu

Oleh : Ibed Surgana Yuga

Topeng-topeng itu menari, magis dan eksotis. 
Topeng-topeng itu mendekam di balik kain saput, misterius sekaligus sensasional. 
Topeng-topeng itu berdiam di tempat-tempat sakral. Topeng-topeng itu menghuni pasar. Topeng-topeng itu mengumbar lawakan di pentas seni rakyat. 
Topeng-topeng itu menjadi guide para wisatawan. 
Topeng-topeng itu menjual hiburan. 
Topeng-topeng itu bermain politik. 
Topeng-topeng itu menyicil prestise. 
Topeng-topeng itu berkonsolidasi. 
Topeng-topeng itu praktik intrik. 
Topeng-topeng itu membangun kuasa. 
Topeng-topeng itu adalah wajah Bali. Semua yang ada di Bali

Sabtu, 12 November 2011

Tantangan Industri Pariwisata Bali

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Industri pariwisata memang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan lapangan pekerjaan di Bali, mendorong pemerataan pembangunan nasional, dan tentu saja memberikan devisa negara yang cukup besar. Sektor pariwisata menempati urutan ke-4 sebagai penyumbang terbesar devisa negara seperti yang diperlihatkan pada tabel 1, di daftar ranking devisa negara. Industri pariwisata di Bali sudah terbukti mampu menjadi penggerak ekonomi kerakyatan di segala bidang yang berbasis pada usaha kecil, menengah, maupun atas.

 Tabel 1 Rangking devisa nasional pada tahun 2006, 2007, dan 2008

 

Di  sisi lain, perkembangan pariwisata yang tak terkendali, dimana kepentingan bisnis lebih diutamakan tanpa memperhatikan kepentingan budaya juga dapat menyebabkan Bali menjadi krisis identitas, krisis lingkungan, dan juga krisis akan nilai-nilai budaya lokal. 

Kamis, 10 November 2011

Ketergantungan Bali Terhadap Industri Pariwisata

Oleh : Ibed Surgana Yuga

SEBUAH surat pembaca dari seorang masyarakat Badung di harian terbesar di Bali pada pertengahan November 2008 menyarankan suatu strategi tentang pembangunan Bali mutakhir. Penulis surat di antaranya menyarankan tentang sistem keamanan Bali yang harus melibatkan seluruh masyarakat yang ada di Bali, dengan memberikan insentif memadai bagi masyarakat pemberi informasi yang falid kepada pihak berwajib. Selanjutnya ia menulis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dan yang paling penting adalah pembuka surat yang merupakan muara dari seluruh sarannya, yaitu Bali sebagai bangunan pariwisata yang kokoh dan tegar.

Apa yang bisa dibaca dari surat pembaca itu di antaranya adalah bahwa pengukuhan terhadap entitas Bali sebagai suatu daerah industri pariwisata sehingga dikhawatirkan entitas itu akan rapuh jika manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata dicerai-beraikan. Dengan demikian, seluruh orang yang ada di Bali harus turut serta aktif menjaga keutuhan entitas tersebut dengan tindakan nyata, misalnya dengan melaporkan masalah keamanan seperti keberadaan orang mencurigakan. Atas peran serta aktif tersebut, masyarakat akan diberikan imbalan yang pantas dalam bentuk material tentu saja.

Memang benar bahwa manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan – atau lebih tepatnya, jangan sampai dipisahkan karena payuk jakan bisa buung makedus. Namun tentu saja ini bagi orang yang menikmati buah dari pohon besar pariwisata Bali. Orang Bali – apalagi orang luar Bali – yang sama sekali tidak memetik buah itu, baik karena pohonnya yang tak terjangkau atau karena sengaja memilih untuk tak memakan buah dari pohon itu, barangkali akan memandang hal terakhir sebagai sesuatu yang terpisah sama sekali atau justru harus diceraikan jika ada yang hendak menyatukannya.

Rabu, 09 November 2011

Penyebab dan Langkah Pencegahan Banjir di Bali

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Setelah diguyur hujan semalaman (8 November 2011), beberapa tempat di Bali seperti Renon, Nusa Dua, Gunung Agung, Jln Nangka-Gatsu-A Yani, dll mengalami banjir padahal curah hujan saat itu belumlah seberapa dan akan terus meningkat untuk beberapa minggu ke depan. Sebenarnya persoalan banjir adalah permasalahan yang hampir ada setiap tahunnya dan akan selalu kita hadapi di daerah kota-kota besar tidak terkecuali di Bali. 

Kawasan kota-kota besar seperti Denpasar, Badung dan kota lainnya sebisa mungkin harus dikonsep ulang agar mampu mengurangi resiko banjir dikemudian hari. Tidak perlu mengkonsep ulang secara besar-besaran, karena ada beberapa hal kecil yang dapat kita lakukan untuk dapat mengatasi masalah ini bersama-sama. Apabila banjir dapat ditanggulangi, tentu saja anggaran daerah dapat dihemat, pariwisata tetap berjalan sehingga perekonomian Bali semakin maju dari tahun ke tahun. 

PENYEBAB BANJIR DI BALI
Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan dan mendesain tata kota. Di kawasan daerah pariwisata telah terjadi perubahan tata ruang secara massive, sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Keadaan ini secara signifikan menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis. Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai, sehingga pada curah hujan tertentu, menimbulkan genangan air di mana-mana

Senin, 07 November 2011

Masalah Kerusakan Jalan di Bali

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna


Banyaknya kerusakan fasilitas jalan raya sering kali dikeluhkan oleh para wisatawan maupun masyarakat lokal di Bali saat ini. Masalah ini perlu menjadi perhatian serius karena citra Bali sebagai tempat tujuan pariwisata bisa memburuk apabila pemerintah tidak sigap mengkaji dan menyiapkan anggaran untuk perbaikan-perbaikan jalan yang rusak dengan segera. 

Tidak hanya kerusakan jalan di tempat-tempat wisata favorit, di pemukiman-pemukiman penduduk pun kerusakan jalan sudah menjadi masalah yang selalu ada dimana-mana. Di perumahan dinas UNUD dan di depan Rumah Sakit pendidikan kawasan Kampus Bukit Jimbaran Udayana (Proyek Pemerintah senilai 125 Milyar) misalnya, kerusakan jalan yang sangat parah sudah dibiarkan sangat lama. Beberapa orang warga perumahan beberapa kali sampai berinisiatif menambal jalan dengan menggunakan dana pribadi.

Tidak hanya itu, banyak juga warga yang ingin memperbaiki jalan secara swadaya juga tidak mendapat respon yang baik dari pemerintah, seperti masalah yang dikeluhkan masyarakat Riang Gede Tabanan beberapa waktu yang lalu. Entah ada apa dan siapa yang patut disalahkan dalam permasalahan jalan di Bali ini. Hal ini sungguh sangat  disayangkan karena terdapat anggaran yang besar untuk Bali di bidang perawatan dan perbaikan jalan, yaitu sebesar 21.1 Milyar.

PENYEBAB KERUSAKAN JALAN

1. Perilaku Pengguna Jalan
Perusakan jalan yang lebih cepat salah satunya disebabkan oleh perilaku pengguna jalan yang kurang memiliki kesadaran untuk mengurangi resiko pemendekan umur pakai jalan. Dalam hal ini khususnya angkutan truk, kontainer, kendaraan berat lainnya yang sering mengangkut muatan melebihi kapasitas muatan normalnya. Mereka seenaknya saja mengangkut barang semaksimal mungkin tanpa memperhitungkan kapasitas jalan dalam menanggung beban kendaraan. Untuk sekedar diketahui, beban maksimum rata-rata yang dapat ditanggung jalan pada umumnya telah ditetapkan seberat 8 ton dan 12 ton. Apabila hal ini ditaati, coba bayangkan berapa anggaran pemerintah yang dapat kita hemat?
 
Solusi yang dapat diambil adalah membatasi beban kendaraan dengan membuat ketentuan tegas yang mengikat untuk semua komponen yang terkait dengan angkutan kendaraan berat, maka tingkat kerusakan akan dapat diatasi atau dapat diminimasikan.

Masalah Kelistrikan Bali dan Peluang Bisnis PLTS


Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Perubahan kebudayaan atau globalisasi (culture shock) yang menimpa Bali saat ini adalah sebuah proses dari konsekuensi yang panjang dan kompleks dari sebuah perindustrian pariwisata Indonesia. Di satu sisi kepariwisataan Bali mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan kemakmuran masyarakat, dan memberikan kontribusi yang besar untuk devisa negara. Sedangkan di sisi lain yang beriringan terdapat tantangan yang besar dalam melestarikan nilai-nilai luhur budaya dan Agama Hindu yang ada di Bali.

BALI SEDANG MENGHADAPI KRISIS LISTRIK
Di saat menghadapi kerasnya pengaruh globalisasi, ada permasalahan baru yang timbul di Bali dalam memenuhi kebutuhan energi listriknya. Sampai saat ini Bali masih bergantung dengan jaringan listrik dari luar. Apabila terjadi gangguan dengan koneksi jaringan listrik Jawa-Bali, dapat dipastikan Bali akan mengalami pemadaman listrik untuk jangka waktu yang lama, dan tentu saja ini akan mengganggu industri pariwisata yang akan berpengaruh ke segala bidang.

Permasalahan energi listrik di Bali tidak hanya disitu saja, rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik Indonesia khususnya di Bali bertahan pada angka 2,1-2,3%. Dengan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan listrik di Bali akan terus bertambah hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030.

Pembangunan pembangkit-pembangkit listrik besar di Bali seperti Geothermal, PLTU, maupun PLTN bukan merupakan solusi karena Bali adalah tempat tujuan pariwisata dunia dimana ada puluhan ribu orang dari penjuru dunia datang ke Bali setiap tahunnya. Sebaiknya Bali harus bisa menjadi contoh penggunaan pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan tidak merusak keindahan pemandangan alam yang ada saat ini.

Minggu, 06 November 2011

Sistem Subak Bali Untuk Sistem Irigasi Masa Depan

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna
“Museum Subak Mandala Mathika terdapat di desa Sungulan Tabanan”

SISTEM subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama.

Pengelolaan sistem irigasi konvensional cenderung hanya berdasarkan pada konsep-konsep efisiensi berdasarkan aturan-aturan formal, dengan pola pikir ekonomik.

Sementara itu, keunggulan sistem subak adalah konsep-konsep efektivitas, nilai-nilai religi, dan pengelolaan sistem irigasi yang berlandaskan harmoni dan kebersamaan, ditata secara baik dan fleksibel. [1]

Latar belakang didirikannya organisasi ini beberapa ribu tahun yang lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas.

Untuk dapat menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak.

9 Permasalahan di Bali

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Mendengar kata BALI dibayangan teman-teman pembaca lainnya sudah pasti adalah suatu pulau tempat tujuan pariwisata terindah di Indonesia yang sudah terkenal ke mancanegara. Penulis pun juga berpikir hal yang sama, sampai pada akhirnya saat penulis menyempatkan diri balik ke kampung halaman pada bulan Juli 2011 kemaren, ada beberapa pemikiran tentang permasalahan di Bali yang ingin disampaikan di blog ini agar  bisa menjadi bahan koreksi untuk lebih baik lagi kedepannya.

Melihat tempat kelahiran dari sudut pandang berbeda, setelah merasakan sendiri rasanya berpariwisata ke kota-kota di Eropa, Jepang, dan China membuat jiwa saya tertarik untuk lebih meningkatkan pelayanan kepariwisataan di Bali agar menjadi daerah tujuan wisata terbaik dan menjadi tempat yang lebih ideal para wisatawan, baik asing maupun domestik. Dari liburan ini ada 9 poin yang dapat saya paparkan tentang permasalahan yang perlu menjadi perhatian publik Bali untuk lebih meningkatkan kualitas industri pariwisatanya.

Menurut hemat saya sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang yang lahir di Bali, secara sukarela tanpa harus menunggu perbaikan dari pemerintah pusat atau uluran bantuan dari luar dan pihak swasta untuk menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di Bali yang timbul akibat meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali.

Jangan sampai kita sebagai pemilik sah Pulau Bali ini hanya bersifat cuek dan gengsi yang hanya bisa menunjuk para investor yang berbisnis di Bali yang harus bertanggung jawab dengan segala kerusakan-kerusakan yang terjadi di Bali.

Ingatlah satu hal sebagai analogi permasalahan ini adalah saat kita mengundang tamu untuk berkumpul dirumah kita, rumah kita akan semakin kotor dan rusak apabila kita tidak berusaha untuk mengajak tamu bersama-sama menjaga kebersihan rumah kita.

Permasalahan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) di Bali

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Pada artikel kali ini, akan dibahas tentang permasalahan pembangkit listrik tenaga panas bumi, atau yang lebih sering disebut dengan Geothermal di Bali.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada tahun 1993 hingga 1998, Ida Bagus Sudjana (almarhum) mungkin tidak pernah menyangka bahwa proyek Geothermal yang digagasnya pada tahun 1994 bakal menimbulkan polemik dan menimbulkan penolakan besar dari masyarakat Bali.
Pembangkit listrik Geothermal ini didesain dengan kapasitas daya keluaran sebesar 175 Mwatt di sekitar kawasan pegunungan Bedugul. Pembangkit listrik ramah lingkungan dengan daya seperti ini dirancang cukup untuk mengatasi permasalahan Bali dari ketergantungan pasokan energi listrik dari jaringan koneksi kabel bawah laut dari Pulau Jawa.

Sumber masalah dari penolakan masyarakat Bali terhadap pembangkit Geothermal ini adalah letak lokasi pembangunan di sekitar lereng pegunungan, yang notabene menurut kepercayaan adat masyarakat Bali, Gunung, Danau, Sungai-sungai dan Pantai merupakan sebuah kawasan suci yang mesti dijaga keindahan alamnya (kesucian dan kesakralan Pulau Bali).

Pada artikel kali ini, saya mencoba untuk membahas ulang kasus yang sempat ramai diperdebatkan pada tahun 2005-2006 ini. Semoga artikel ini bisa menjadi pembelajaran buat bangsa Indonesia dalam mengambil kebijakan membangun pembangkit listrik yang tepat, ramah lingkungan, sesuai dengan kondisi dan potensi lokal setiap daerah.