Minggu, 06 November 2011

Permasalahan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) di Bali

Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Pada artikel kali ini, akan dibahas tentang permasalahan pembangkit listrik tenaga panas bumi, atau yang lebih sering disebut dengan Geothermal di Bali.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada tahun 1993 hingga 1998, Ida Bagus Sudjana (almarhum) mungkin tidak pernah menyangka bahwa proyek Geothermal yang digagasnya pada tahun 1994 bakal menimbulkan polemik dan menimbulkan penolakan besar dari masyarakat Bali.
Pembangkit listrik Geothermal ini didesain dengan kapasitas daya keluaran sebesar 175 Mwatt di sekitar kawasan pegunungan Bedugul. Pembangkit listrik ramah lingkungan dengan daya seperti ini dirancang cukup untuk mengatasi permasalahan Bali dari ketergantungan pasokan energi listrik dari jaringan koneksi kabel bawah laut dari Pulau Jawa.

Sumber masalah dari penolakan masyarakat Bali terhadap pembangkit Geothermal ini adalah letak lokasi pembangunan di sekitar lereng pegunungan, yang notabene menurut kepercayaan adat masyarakat Bali, Gunung, Danau, Sungai-sungai dan Pantai merupakan sebuah kawasan suci yang mesti dijaga keindahan alamnya (kesucian dan kesakralan Pulau Bali).

Pada artikel kali ini, saya mencoba untuk membahas ulang kasus yang sempat ramai diperdebatkan pada tahun 2005-2006 ini. Semoga artikel ini bisa menjadi pembelajaran buat bangsa Indonesia dalam mengambil kebijakan membangun pembangkit listrik yang tepat, ramah lingkungan, sesuai dengan kondisi dan potensi lokal setiap daerah.


SEKILAS TENTANG ENERGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL)
Salah satu sumber potensi energi geothermal di Indonesia terdapat di Sarulla, dekat Tarutung, Sumut, yang dikabarkan memiliki cadangan terbesar di dunia. Geothermal adalah salah satu kekayaan sumber energi yang belum banyak dimanfaatkan baik di Indonesia maupun di Dunia.

Panas bumi (geothermal) menjadi perhatian dunia karena energi yang dihasilkan dapat menjadi sumber energi listrik alternatif di masa depan yang sangat besar dan bebas polusi CO2. Perlu diketahui bahwa cadangan panas bumi di Indonesia sangatlah besar, hingga mencapai 40% cadangan energi dunia. 

Berdasarkan data PT. Pertamina Geothermal Energy, disebutkan bahwa cadangan ini mencapai 27.000 MW, sementara yang telah termanfaatkan baru sekitar 1.198 MW saja. Bukannya tidak mungkin apabila pemanfaatan panas bumi dapat dilakukan secara maksimal, Indonesia kemudian akan mampu berdiri sebagai kiblat bagi pengembangan energi geothermal di seluruh dunia.

PENOLAKAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK GEOTHERMAL DI BALI
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, setelah 10 tahun proyek ini selesai dicanangkan, dari tahun 2005-2006 terjadi penolakan besar-besaran dari masyarakat Bali terhadap pembangunan pembangkit listrik ini. Proyek geothermal di kawasan Bedugul ini dianggap nantinya akan mengurangi kesakralan kawasan suci di daerah tersebut.

Perlu diketahui bahwa kawasan pegunungan Bedugul memiliki nilai khusus bagi masyarakat di Bali, selain merupakan obyek wisata dan wilayah perkebunan yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk dikawasan Bedugul. Disinilah tiga dari empat danau di Pulau Bali berada dan sejumlah Pura utama dibangun. Aktivitas pembangunan infrastruktur, penebangan pohon dan segala kesibukannya dipandang dapat mengganggu keberlangsungan yang telah berjalan secara selaras pada kehidupan masyarakat saat ini.
Proyek pembangkit listrik di kawasan pegunungan Bedugul menurut para sulinggih bertentangan dengan konsep Tri Hita Karana. Konsep tersebut menjadi nilai dasar masyarakat Hindu Bali sejak ratusan tahun. Nilai budaya Tri Hita Karana (Palemahan, Pawongan dan Parhyangan) pada intinya menghendaki adanya keharmonisan dan keselarasan hubungan horizontal antar sesama manusia (humanisme), keseimbangan dan keharmonisan hubungan secara vertikal, yaitu manusia dengan lingkungan alam (ekologisme) dan keharmonisan dan keselarasan hubungan manusia dengan roh (dewa/bhatara) sebagai manifestasi Tuhan (teologisme) untuk mencapai kesejahteraan hidup secara lahiriah dan batiniah.

Umat Hindu Bali juga mengenal nilai budaya Tri Mandala yang mengapresiasi (memberi makna) pada setiap ruang. Masing-masing ruang mempunyai perbedaan nilai sesuai dengan karakteristiknya. Secara umum dalam konsep Tri Mandala membedakan ruang menjadi tiga, yaitu: Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Ditinjau dari tingkat kesuciannya, Utama Mandala dipandang sebagai tempat atau ruang tersuci.

Pembagian ruang makro dalam konteks kawasan geografis ini telah dikenal sejak zaman raja-raja Bali Kuno (sekitar abad XM). Pada masing-masing ruang makro tersebut biasanya disertai dengan pembangunan tempat suci/pura, yaitu di kawasan hulu yang terkait dengan ekosistem gunung, hutan dan danau dibangun Pura Gunung, Pura Danu. Di kawasan tengah terkait dengan ekosistem daratan/daratan dibangunan Pura Penataran (Pura Pusat Kerajaan) dan di hilir atau pesisir dan laut terkait dengan ekosistem pesisir dan laut dibangun Pura Laut/Pura Segara. Pura-Pura tersebut dibangun untuk memohon keselamatan, kestabilan dan kedamaian, kesuburan dan kemakmuran serta keharmonisan hidup manusia dengan lingkungannya.

MAKNA GUNUNG SEBAGAI TEMPAT SUCI
Berkaitan dengan nilai kesucian (keajegan) kawasan dan tempat suci telah ditetapkan dalam Bhisama yang merupakan keputusan PDHI Pusat No. 11/Kep./I/PHDIP/1994. Ketentuan tentang kawasan suci dan tempat suci ini kemudian dikukuhkan dalam Perda No.4 Th.1996 tentang RTRW Propinsi Bali (Bab VI psl 19). Dalam penjelasan pasal demi pasal RTRW Propinsi Bali (p 12), Psl 19.

Selain itu, nilai budaya juga memandang gunung suci dicerminkan dari adat tata cara duduk dalam ritual adat atau perilaku tidur penduduk sekitar. Jika tidur kepala harus berorientasi ke gunung/bukit terdekat, pura dan atau matahari terbit. Pantang menginjak (ninjak) gunung terdekat, pura, atau tempat matahari terbit. Orientasi tidur dengan menginjak gunung terdekat atau arah matahari terbit diyakini panes yang mendatangkan gering (kesakitan) dan nasib sial. Umat Hindu Bali menjadikan gunung (yang tertinggi Gunung Agung) sebagai arah menghadap pada saat upacara agama.

KESIMPULAN
Bukan pilihan yang keliru memang jika pemerintah melirik pembangkit geothermal sebagai solusi pembangkit masa depan Bali yang memanfaat potensi lokal panas bumi di Bedugul. Hal ini menjadi masalah karena pembangkit geothermal mesti dibangun di kawasan pegunungan, karena pada tempat itulah uap panas yang berasal dari aktivitas pegunungan berada. Disatu sisi. Umat-Hindu Bali memperlakukan gunung dan danau sebagai kawasan suci (ajeg). Aktivitas pembangkit listrik dinilai mengurangi kesucian kawasan tersebut. Sebuah ajaran agama yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun di pulau dewata tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar