Rabu, 16 November 2011

Memaknai Hidup Dari Satua Bali

Oleh: Ibed Surgana Yuga


Mari kita bermain dengan bayang-bayang sejenak. Bayangkan India tanpa Ramayana dan Mahabharata. Bayangkan Timur Tengah tanpa Abu Nawas. Bayangkan Cina tanpa Sampek Engtay. Bayangkan Amerika tanpa Batman, Superman atau Spyderman. Bayangkan Jepang tanpa Momotaro. Bayangkan Yunani tanpa Oedipus, Dewa Apollo atau Syshipus. Bayangkan Inggris tanpa Remeo Juliet. Bayangkan Indonesia tanpa Malin Kundang atau Roro Mendut. Dan bayangkan Bali tanpa Jayaprana Layonsari atau Calonarang.

Ah, barangkali tidak akan terjadi apa-apa. Tapi barangkali juga terjadi sesuatu yang begitu besar dan sangat serius: sebuah kualitas kehidupan peradaban yang jauh dari nilai tinggi, sunyi, muram, ada yang kurang pada pandangan hidup, ada yang kurang pada prestise, ada yang kurang pada pendidikan anak, ada yang kurang pada emosi kemanusiaan, tak ada pengalaman imajinatif, tiada kisah dari “dunia lain”, tanpa pelipur rutinitas survival – kecuali tidur.

Satua adalah kisah, peristiwa yang dibayangkan dan dikatakan, baik oral traditions maupun berasal dari tradisi tulis. Bagi pengetahuan modern, ia adalah cerita rekaan, fiksi, bohong. Namun bagi masyarakat pendukungnya, ia adalah kenyataan yang dipercaya, baik kejadian, keberadaan atau kausalitasnya. Pengetahuan modern yang konon logis itu boleh saja mengatakannya sebagai omong kosong, namun masyarakat pendukungnya demikian mementingkannya. Mereka menjalaninya, dengan sadar maupun tidak, dalam keseharian peradaban hidup mereka.


Di Bali, apa yang anak-anak – atau orang dewasa yang dulu mendapat tradisi didongengi – alami ketika mendengar satua I Rare Angon, misalnya? Saya sendiri membayangkan bahwa sayalah Rare Angon itu. Kebetulan ayah saya memelihara sapi, dan saya sering dapat tugas menggembalakannya setiap sore di tegalan atau di pinggir rurung. Setiap menggembalakan (ngangon) sapi, saya selalu membayangkan akan mengalami pertualangan yang hebat semacam yang dialami Rare Angon dalam satua itu. Lalu, tanpa berbohong, saya ingin diangkat menjadi raja. Dalam pemahaman umum, siapa yang tidak ingin hidup dalam kedudukan yang tinggi?

Ketika saya beranjak dewasa, saya sering bertanya, siapa yang telah menciptakan satua macam I Rare Angon itu sehingga saya, yang lahir entah berapa generasi setelah ia diciptakan, merasa demikian terobsesi setelah mendengarnya? Orang macam apa yang pertama kali menceritakannya pada orang lain? Adakah ia seorang kawi atau cuma seorang kakek kesepian yang tinggal sendirian dalam gubuk reyot?

Satua, dalam posisinya sebagai bagian dari folklor, memang merupakan alat proyeksi bagi angan-angan masyarakat pendukungnya. Ia juga dengan sadar maupun tidak menunjukkan bagaimana pola pikir, pola laku, psikologi, serta tentu saja kebudayaan masyarakat pendukungnya. Di samping itu, satua juga merupakan pengesahan dari sekian banyak tindakan, ide serta konsep kebudayaan masyarakatnya.

Dalam satua juga orang Bali memproyeksikan kehidupannya, baik yang di belakang maupun yang diangankan dan diinginkan ke depan. Jika kita (orang Bali) berhadapan dengannya, ia akan berubah menjadi cermin, dan cepat atau lambat, disadari atau tidak, ia akan memperlihatkan bayangan kita di masa lalu dan masa depan. Ia akan memperlihatkan bagaimana generasi kita terdahulu membayangkan kehidupan yang akan datang, segala angan, ide, cita-cita akan menjelma di sana.

Tentu satua bukanlah semacam kartu tarot atau kolom zodiak di koran Minggu yang meramal masa depan kita. Bukan. Satua juga bukan balian yang melontarkan pasuwukan melalui suatu ritual tertentu. Satua adalah dunia bayangan yang diciptakan peradaban kita melalui oral traditions – khusus untuk satua yang lisan – dengan struktur logika tertentu.

Mari kita bermain dengan bayang-bayang lagi. Bayangkan Bali tanpa satua tentang bulan kepangan, di mana Kala Rahu – kala tak berbadan itu – berusaha keras menelan Betari Ratih yang cantik. Ketika di SMP kita mendapatkan ilmu fisika pada bab tentang benda-benda luar angkasa, kita tahu bahwa satua itu bohong belaka. Tak ada Kala Rahu.Yang ada hanya konsekuensi logis peredaran bumi dan bulan. Tak ada juga Betari Ratih. Hanya benda langit yang demikian besar dengan teksturnya yang aneh.

Saya dapat menerka-nerka ketika nenek moyang kita dulu sadar pertama kali akan adanya gerhana bulan. “Ada apa gerangan? Bulan yang sedang purnama dan demikian cantik merona tiba-tiba terjebak dalam kepekatan yang jauh lebih pekat dari awan hitam, jauh lebih pekat dari malam tanpa bulan. Jangan-jangan sebentar lagi bulan akan habis ditelannya, dan kita tidak akan punya lagi Betari Ratih yang kita puja itu. Jangan-jangan Betari Ratih sedang dimakan kala, sebagaimana kita manusia yang sering diganggu hingga meninggal oleh bhuta kala. Tubuh menggigil, ketakutan, ada yang menekan, suatu ancaman tentang betari junjungan yang sering memberi berkah sedang dalam bahaya. Ayo, pukul apa saja yang ada di sekeliling kita untuk membatalkan niat kala itu memakan Betari Ratih. Kulkul, palungan, lesung, timba, panci, dipukul bertalu-talu, sebagaimana membunyikan berbagai bunyi-bunyian dalam upacara macaru. Dan ternyata berhasil. Kala itu perlahan melepaskan cengkraman mulutnya dari tubuh Betari Ratih. Wajah Betari Ratih perlahan berseri lagi. Dan purnama kembali. Kita pun tidur lagi dengan damai.”

Apa yang terjadi jika satua bulan kepangan itu tidak ada, tidak diciptakan oleh entah siapa untuk menjawab fenomena alam bernama gerhana bulan? Barangkali tidak terjadi apa-apa. Tapi bisa juga terjadi sesuatu yang besar terhadap kehidupan orang Bali. Ketakutan yang melanda nenek moyang kita ketika menyadari pertama kali akan adanya bulan kepangan adalah sebuah peristiwa psikologis yang hebat. Lalu ketakutan di tengah ketidaktahuan itu coba dijawab dengan melakukan sesuatu: memukul apa saja yang bisa menimbulkan bunyi. Secara psikologis, bunyi-bunyian itu sudah memberikan sugesti yang menenangkan, sebuah sugesti tentang perlawanan terhadap sesuatu yang tidak diinginkan.

Barangkali, jika hal ini tidak dilakukan, nenek moyang kita akan hidup dalam ketakutan, rasa bersalah karena membiarkan betari junjungan dalam bahaya, suatu tekanan patologi psikologis yang berat. Walaupun bulan kembali bersinar, namun rasa bersalah itu tetap saja ada hingga generasi ke generasi, disebarkan melalui satua yang lain. Jika demikian, tidak menutup kemungkinan kita akan lahir sebagai generasi-generasi yang murung, penuh rasa bersalah, tak ada semangat melakukan survival.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar