Senin, 07 November 2011

Masalah Kelistrikan Bali dan Peluang Bisnis PLTS


Oleh : Kadek Fendy Sutrisna

Perubahan kebudayaan atau globalisasi (culture shock) yang menimpa Bali saat ini adalah sebuah proses dari konsekuensi yang panjang dan kompleks dari sebuah perindustrian pariwisata Indonesia. Di satu sisi kepariwisataan Bali mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan kemakmuran masyarakat, dan memberikan kontribusi yang besar untuk devisa negara. Sedangkan di sisi lain yang beriringan terdapat tantangan yang besar dalam melestarikan nilai-nilai luhur budaya dan Agama Hindu yang ada di Bali.

BALI SEDANG MENGHADAPI KRISIS LISTRIK
Di saat menghadapi kerasnya pengaruh globalisasi, ada permasalahan baru yang timbul di Bali dalam memenuhi kebutuhan energi listriknya. Sampai saat ini Bali masih bergantung dengan jaringan listrik dari luar. Apabila terjadi gangguan dengan koneksi jaringan listrik Jawa-Bali, dapat dipastikan Bali akan mengalami pemadaman listrik untuk jangka waktu yang lama, dan tentu saja ini akan mengganggu industri pariwisata yang akan berpengaruh ke segala bidang.

Permasalahan energi listrik di Bali tidak hanya disitu saja, rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik Indonesia khususnya di Bali bertahan pada angka 2,1-2,3%. Dengan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan listrik di Bali akan terus bertambah hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030.

Pembangunan pembangkit-pembangkit listrik besar di Bali seperti Geothermal, PLTU, maupun PLTN bukan merupakan solusi karena Bali adalah tempat tujuan pariwisata dunia dimana ada puluhan ribu orang dari penjuru dunia datang ke Bali setiap tahunnya. Sebaiknya Bali harus bisa menjadi contoh penggunaan pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan tidak merusak keindahan pemandangan alam yang ada saat ini.
 
UPAYA PEMERINTAH DALAM MENDESAIN KELISTRIKAN DI BALI
Masalah krisis listrik di Bali telah menjadi perhatian serius PLN mewakili pemerintah dengan alasan Bali merupakan daerah di Indonesia yang menjadi perhatian besar dari seluruh negara di dunia. Apabila Bali mengalami gangguan kelistrikan, maka secara tidak langsung ini akan menjadi tamparan yang serius buat Indonesia di mata dunia.

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya jangka pendek dan jangka panjang. Upaya jangka pendeknya adalah seperti melakukan perbaikan pembangkit-pembangkit listrik swasta yang rusak, dan menyewa pembangkit ini untuk memenuhi kebutuhan listrik Bali untuk 1-2 tahun ke depan.

Adapun upaya-upaya jangka panjangnya adalah seperti berencana membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di Bedugul atau membangun dua buah saluran listrik bawah laut yang masing-masing sebesar 200 MW. Selain itu, PLN juga sedang berencana membuat tower listrik tertinggi di dunia, 376 meter, yang akan mengalirkan listrik dari Jawa ke Bali sebesar 3000 MW.

KONSEP PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK YANG BERKELANJUTAN
Disini penulis mencoba untuk menawarkan peluang bisnis dan sebuah konsep pembangunan berkelanjutan untuk masa depan kelistrikan di Bali diperuntukan bagi siapa saja yang membaca artikel ini. 

Konsep pembangunan berkelanjutan disini adalah bagaimana agar solusi yang diambil kedepannya dapat mengatasi krisis kelistrikan di Bali sekaligus menunjang kepariwisataan dan dapat menjaga lingkungan dan budaya-budaya luhur yang ada.

Agar dapat berkelanjutan pembangunan membutuhkan konsep yang lebih detail dengan memperhatian segala aspek. Konsep pembangunan berkelanjutan yang ditawarkan disini ditunjukan pada Gambar 1

Dari gambar terlihat bahwa ada 3 poin penting yang harus diperhatikan apabila kita menginginkan sebuah sistem yang berkelanjutan, yaitu (i) PLN selaku pemerintah, (ii) kondisi ekonomi dan budaya, (iii) tentu saja harus menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Pembangunan yang hanya memenuhi kriteria pemerintah (engineer) dan lingkungan saja pembangunan tersebut baru bisa dikatakan sekedar memberi “kenyamanan” dan tentunya membutuhkan teknologi yang tinggi namun belum tentu bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat, baik dari segi ekonomi dan budaya mereka. Pembangunan ini belum bisa dikatakan berkelanjutan karena tidak meninjau aspek sosial ekonomi kemasyarakatannya.

Sebagai contoh, semua orang tau bahwa proyek geothermal di Bali adalah solusi pembangkit listrik masa depan yang ramah lingkungan, berteknologi tinggi dan merupakan solusi yang baik untuk mengatasi krisis kelistrikan di Bali. Tapi apa yang terjadi? Sebagian besar orang Bali menolak proyek ini, karena memang kondisi Pulau Bali yang kecil, lokasi yang dipilih merupakan tempat obyek wisata favorit, dan tentangan dari budaya Bali itu sendiri menyebabkan Bali tidak cocok untuk dibangun pembangkit-pembangkit listrik berdaya besar semacam PLTU, PLTA, maupun PLTN.

Disamping itu, investor lebih tertarik untuk mengembangkan pariwisata ketimbang pembangkit listrik apabila kita berbicara dalam konteks penggunaan lahan di Bali. Proyek ini sangat boros lahan, beresiko merusak lingkungan, dan terlebih lagi pembangkit ini direncanakan dibangun di atas hutan yang dalam artian luas proyek ini cenderung menghilangkan lapangan pekerjaan untuk orang Bali.

Suatu pembangkit listrik yang memiliki teknologi tinggi, ramah lingkungan, dan cocok diterapkan untuk menunjang pariwisata Bali seperti halnya PLTS (tenaga surya) dan PLTB (tenaga angin) juga bukan merupakan solusi dari pembangunan berkelanjutan. 

Disini diperlukan peran pemerintah dalam mengatur aliran investasi, mengatur subsidi untuk penggunaan energi terbarukan, dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat Bali. Apabila pemerintah tidak mengupayakan hal ini, tentu saja sebagus apapun ide yang diajukan tidak akan menemukan solusi yang terbaik untuk mengatasi krisis energi listrik di Bali.

Budaya Bali tidak boleh dikorbankan dalam pembanguan infrastruktur kelistrikan. Dalam konsep pembangunan di segala bidang, masyarakat Bali memiliki konsep yang dinamakan Tri Hita Karana, yaitu sebuah konsep pembangunan lestari yang menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan hubungan manusia dengan segala kegiatan keagamaannya.

Pembangunan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa memperdulikan lingkungan juga bukan merupakan suatu solusi dari pembangunan berkelanjutan. Pembangkit listrik dan infrastruktur yang akan di bangun di Bali sebisa mungkin tidak membuat polusi atau merusak lingkungan. 

Perkembangan teknologi harus tetap bisa menjaga lingkungan agar bisa dinikmati oleh generasi berikutnya. Banyak negara maju, seperti negara-negara di Eropa, Amerika, dan Jepang merasa iri dengan kehidupan di Bali. Unsur-unsur inilah yang harus di jaga dalam setiap pembangunan yang dilakukan di Indonesia.

Dalam konteks ini, rencana pembangunan tower listrik tertinggi di dunia, 376 meter di Bali yang akan mengalirkan listrik dari Jawa ke Bali sebesar 3000 MW juga bukan merupakan solusi dari pembangunan yang berkelanjutan.

Gambar 1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

DESAIN SISTEM KELISTRIKAN MASA DEPAN BALI
Beberapa desain yang ditawarkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di bidang energi adalah sesuai dengan ulasan sebagai berikut. Ide yang dipaparkan hanya menyempurnakan pembangunan yang telah direncanakan ataupun yang sudah dibangun saat ini di Bali.

1. Peningkatan efisiensi produksi pembangkit listrik berbahan bakar migas 
Efisiensi semaksimal mungkin perlu diterapkan pada pembangkit listrik berbahan bakar migas di Bali. Sekedar informasi bahwa di Bali terdapat beberapa PLTU yang sudah beroperasi disaat pasokan listrik Jawa - Bali tidak mencukupi, yaitu PLTU Pemaron 50 MW, PLTU Bedugul 10 MW dan PLTU Bali Timur 2 x 100 MW, dan PLTU berkapasitas 429 MW mulai dibangun di Pelabuhan Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali. Pembangunan ini direncanakan bakal rampung pada Juni 2011.

Pada pembangkit listrik konvensional tenaga uap, kecacatan pada desain dan operasi boiler dapat membuat konsumsi bahan bakar menjadi lebih boros sebesar 30%, sehingga efisiensi pembangkit listrik menjadi rendah. Peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan realisasi pembangkit sesempurna mungkin sesuai desain, perawatan yang berkala, operasi pada kapasitas nominal, penggunaan bahan bakar yang sesuai dengan desain, peningkatan proporsicombined-cycle plants (CCP) atau PLTGU, penggunaan teknologi tinggi untuk peningkatan efisiensi, seperti regenerator, reheater, dan juga lainnya.

Terdapat versi yang menjanjikan dari PLTGU teknologi baru. Pembangkit ini disebut dengan CCP-SIGT (Steam Injected Gas Turbine), dimana uap diinjeksikan ke dalam ruang pembakaran, dan tidak lagi menggunakan turbin uap. Proses ini telah dipatenkan sebagai siklus Cheng. Efisiensi siklus ini mencapai 55%, bandingkan dengan efisiensi sistem PLTG konvensional yang sekitar 40%. 

Daripada menambah kapasitas baru, penggunaan teknologi baru bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah kelistrikan di Bali.

2. Strategi pendistribusian energi listrik 
Menjadikan Bali sebagai pusat jaringan interkoneksi antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya adalah keputusan yang bijaksana di masa depan daripada membangun pembangkit listrik berkapasitas besar di pulau Bali.

3. Pengembangan dan penggunaan sumber energi terbarukan
Kekurangan dari strategi interkoneksi adalah pusat pembangkitan letaknya jauh dari pusat beban membuat biaya distribusi menjadi membengkak. Penggunaan teknologi yang tinggi untuk PLTU di Bali juga memerlukan biaya investasi dan biaya perawatan yang tinggi dan mubazir karena hanya digunakan sebagai back-up apabila pasokan listrik Jawa-Bali tidak mencukupi.

Ada banyak potensi energi lokal yang sebenarnya dapat dimanfaatkan di Bali, seperti energi angin, matahari, tenaga air, ombak, biomassa, dan lain-lain.

Pembangkit listrik tenaga angin dapat ditempatkan di daerah dekat permukaan pantai selatan ditengah laut atau di daerah nusa penida. Energi matahari dapat dimanfaatkan untuk seluruh perumahan penduduk dan fasilitas umum. 

Konsep pembangunan atap rumah di Bali sangat mendukung dalam perkembangan penggunaan pembangkit listrik tenaga matahari untuk konsep kelistrikan perumahan. Disini hanya diperlukan bantuan pemerintah (PLN, BPPT dapat bekerja sama dengan PT LEN Industri) untuk mendukung para pebisnis untuk mengembangkan pembangkit listrik jenis ini di Bali.

Selama ini akibat kurangnya dukungan dari lembaga keuangan dalam membiayai bisnis mikro menjadi halangan utama dalam pengembangan PLTS di Bali. Memang masyarakat Bali belum sanggup untuk membeli PLTS secara tunai. Namun perlu diingat bahwa untuk kapasitas listrik rumahan diatas 2200 VA, atau keluarga yang sanggup membayar listrik diatas Rp. 500.000,- sebulan solusi ini bisa menjadi potensi pasar yang besar untuk membeli PLTS secara kredit.  

Gambar 2. Wind Farm di daerah pinggir pantai


Gambar 3.  Aplikasi PLTS sebagai pembangkit listrik perumahan
Lokasi distribusi berbasis komersial PLTS lainnya juga ada di : Lampung, Jawa Barat, Sumatra Selatan,
Jambi, Bengkulu,Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, NTB, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara, Sumatra Utara, Riau;



KESIMPULAN
Bali adalah pusat dari perhatian dunia. Bali juga merupakan salah satu sumber devisa terbesar untuk Indonesia. Kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi yang dirancang pemerintah sebaiknya harus lebih menguntungkan masyarakat Bali, karena mereka memiliki akar budaya yang kuat. Disatu sisi, Bali sedang menghadapi krisis energi listrik yang harus segera di atasi agar tidak menjadi masalah kedepannya.

Beberapa langkah dan solusi untuk menghasilkan energi yang berkelanjutan telah dipaparkan pada artikel ini. Peran pemerintah disini dapat dilakukan juga dengan cara mendorong investasi pembangkit listrik energi terbarukan seperti sel surya untuk pembangkit listrik perumahan. Peluang bisnis PLTS di Indonesia cukup besar, dengan perkiraan kebutuhan sekitar 40 MWp per tahun. 

Bali bisa menjadi daerah percontohan pertama, karena masyarakat budayanya dinilai sudah siap dan memiliki kesadaran untuk mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan. 

Pemerintah perlu mengkaji dengan serius penciptaan sistem insentif , termasuk ‘feed in tarif’ terutama bagi masyarakat yang bersedia memanfaatkan PLTS untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangganya. Pemerintah juga perlu memberikan contoh kepada masyarakat dalam pemakaian PLTS sebagai sumber energi sehari‐hari, dengan mengharuskan semua gedung pemerintah memakai PLTS untuk memenuhi kebutuhan diversifikasi energi. 

Perlu sosialiasi dikalangan organisasi profesi yang terkait dengan pembangunan rumah dan gedung (insinyur, arsitek, pemborong dsb) agar bersedia mempromosikan PLTS kepada masyarakat konsumen.

Referensi :

1. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan Asosiasi Perusahaan PLTS Indonesia (APSURYA) ; RM. SOEDJONO RESPATI ; Juli 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar